Larangan Tasyabbuh (Menyerupai ) Orang Kafir
وَلَنْ
تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ
مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ
أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ
اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Penjelasan Ayat
Di dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhaanahu wata’aala, menyingkap
apa yang terdapat di dalam hati orang-orang kafir dari kalangan Yahudi
dan Nashara berupa ketidaksenangan mereka terhadap Islam yang dibawa
oleh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan para pengikutnya.
Sehingga seluruh kemampuan yang mereka miliki, mereka gunakan untuk
menggiring kaum muslimin agar mengikuti agama dan keyakinan mereka yang
batil. Mereka jalankan makar tersebut sedikit demi sedikit, hingga
akhirnya seorang muslim keluar dari Islam dan condong kepada agama
mereka, wal ‘iyadzu billah.
Karena
itu, agama Islam menganjurkan untuk selalu menyelisihi kebiasaan
orang-orang kafir sebagai sikap berlepas diri dari mereka dan keyakinan
mereka. Sekaligus juga upaya menutup pintu masuknya pengaruh dan sikap
kecondongan kepada agama dan tradisi yang mereka bawa.
Al-’Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullohu dalam menjelaskan ayat ini berkata:
“(Allah
Allah Subhaanahu wata’aala, ) mengabarkan kepada Rasul-Nya bahwa Yahudi
dan Nashara tidak senang kepadanya kecuali (bila kita) mengikuti agama
mereka. Sebab mereka senantiasa mengajak kepada apa yang menjadi
keyakinan mereka dan menyangka bahwa itu adalah petunjuk. Maka
katakanlah kepada mereka: “Sesungguhnya petunjuk Allah yang engkau
diutus dengannya adalah petunjuk yang sebenarnya. Adapun apa yang kalian
yakini itu adalah hawa nafsu, dengan dalil firman Allah Allah
Subhaanahu wata’aala, :
“Dan jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang kepadamu ilmu, maka Allah tidak akan menjadi wali dan penolongmu.”
Di
dalam ayat ini terdapat larangan besar untuk mengikuti hawa nafsu
Yahudi dan Nashara. Juga larangan menyerupai mereka terhadap apa yang
khusus dari agama mereka. Pembicaraan ini walaupun ditujukan kepada
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya umatnya termasuk
di dalamnya. Sebab yang menjadi ibrah adalah keumuman maknanya dan bukan
kekhususan siapa yang diajak berdialog, sebagaimana pula yang menjadi
ibrah adalah keumuman suatu lafadz dan bukan dikhususkan pada sebab
turunnya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, 64-65)
Berkata
pula Ibnu Jarir rahimahullohu, dalam menafsirkan ayat ini: “Wahai
Muhammad, tidaklah Yahudi dan Nashara senang kepadamu selamanya. Maka
biarkanlah mereka untuk mengikuti apa yang menyenangkan mereka dan yang
sesuai dengan mereka. Dan carilah apa yang mendatangkan ridha Allah
dalam mengajak mereka kepada apa yang Allah utus kepadamu berupa
kebenaran.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/164)
Demikian
pula yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullohu
setelah menyebutkan ayat ini: “Perhatikanlah bagaimana Allah mengatakan
dalam pengkabaran tersebut ‘millah mereka’ dan mengatakan dalam hal
larangan ‘hawa-hawa nafsu mereka’ sebab kaum tersebut (Yahudi dan
Nashara) tidaklah senang kecuali (bila kita) mengikuti millah (ajaran)
mereka secara mutlak. Hardikan (Allah) tersebut adalah dalam hal
mengikuti hawa nafsu mereka sedikit atau banyak. Dan merupakan perkara
yang telah diketahui bahwa mengikuti mereka terhadap apa yang ada di
dalam agama mereka adalah termasuk jenis mengikuti apa yang mereka
lakukan dari hawa nafsu atau menjadi sebab mengikuti hawa nafsu mereka.”
(Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/87)
Nash-nash Larangan Tasyabbuh dengan Orang Kafir
Di
dalam Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah yang shahih banyak
menyebutkan larangan bagi kaum muslimin untuk menyerupai dan mengikuti
cara hidup orang-orang kafir baik secara global maupun terperinci. Di
mana semua itu menunjukkan bahwa agama Allah Allah Subhaanahu wata’aala, ini
dibangun di atas prinsip yang menjadi salah satu pondasi Islam yaitu
berlepas diri dan menyelisihi ash-habul jahim (penghuni jahannam) dari
kalangan orang-orang kafir.
Di antara dalil yang menjelaskan hal tersebut adalah firman-Nya:
“Dan
sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al Kitab (Taurat),
kekuasaan, dan kenabian. Dan Kami berikan kepada mereka rizki-rizki yang
baik serta Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). Dan
Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang
urusan (agama). Maka tidaklah mereka berselisih melainkan sesudah datang
kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari
kiamat terhadap apa yang selalu mereka perselisihkan padanya. Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama) itu. Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali
tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan
sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang
yang bertakwa.” (Al-Jatsiyah: 16-19)
Syaikhul Islam rahimahullohu berkata:
“Allah
mengabarkan bahwa Ia memberikan kenikmatan kepada Bani Israil dengan
berbagai kenikmatan dunia dan akhirat. Dan bahwa mereka berselisih
setelah datangnya ilmu kepada mereka disebabkan menentang al-haq
sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Lalu Allah menjadikan
Muhammad shallallohu ‘alaihi wasallam, berada di atas syariat yang telah
ditetapkan-Nya, memerintahkan (umat ini) untuk mengikuti beliau dan
melarang dari mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak berilmu.
Termasuk orang-orang yang tidak berilmu adalah semua orang yang
menyelisihi syariat-Nya.
Hawa nafsu
adalah apa yang mereka condong kepadanya dan apa yang diamalkan oleh
kaum musyrikin berupa cara-cara mereka yang dzahir/ tampak, yang menjadi
kewajiban agama mereka yang batil dan yang semacamnya. Maka
menyesuaikan (meniru) keadaan seperti mereka adalah mengikuti hawa
nafsu. Oleh karena itu, orang-orang kafir merasa gembira bila kaum
muslimin menyerupakan diri dengan mereka dalam sebagian keadaan mereka
dan mereka senang dengannya. Mereka sangat berharap bahwa jika mereka
lebih berupaya lagi maka hal tersebut akan terjadi (yaitu kaum muslimin
akan mengikuti mereka).
Kalau
seandainya perbuatan itu bukan termasuk mengikuti hawa nafsu mereka,
tentu tidak diragukan bahwa menyelisihi mereka lebih menutup jalan untuk
mengikuti mereka dan lebih membantu untuk menggapai ridha Allah Allah
Subhaanahu wata’aala. Menyesuaikan diri dengan mereka (dalam sebagian
perkara) bisa membawa kepada perbuatan menyerupai mereka dalam hal lain.
Karena barangsiapa yang mendekati tempat terlarang, lama kelamaan dia
akan terjatuh ke dalamnya.” (Iqtidha Ash-Shiratil Mustaqim, 1/85-86)
Lebih ditegaskan lagi dengan sabda Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam :
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka (kaum tersebut).”
(HR. Abu Dawud dari Abdullah bin ‘Umar c dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani tdalam Shahih Al-Jami’, no. 6149)
Syaikhul
Islam rahimahullohu berkata: “Hadits ini hukum minimalnya adalah haram
menyerupai mereka (kaum kafir) walaupun dzahir hadits ini menunjukkan
kafirnya orang yang menyerupai mereka, seperti firman-Nya:
“Barangsiapa yang loyal kepada mereka maka sesungguhnya dia termasuk dari mereka.” (Al-Maidah: 51) (Iqtidha Ash-Shiratil Mustaqim, 1/241)
Bentuk Penyelisihan Islam Terhadap Kuffar
1. Perpindahan kiblat
Di
dalam perintah Allah tentang pemindahan kiblat kaum muslimin terdapat
pelajaran yang sangat berharga, khususnya dalam menampakkan sikap
berlepas diri dari orang-orang kafir dan tidak menyerupai mereka dalam
setiap ibadah dan tradisi mereka, sehingga terjadi perbedaan yang dzahir
antara muslim dan kafir. Allah Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman:
“Dan
sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan
Nashrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat
(keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu. Dan kamupun tidak
akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian merekapun tidak akan
mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka kamu
termasuk golongan orang-orang yang zalim. Orang-orang (Yahudi dan
Nashrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal
Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya
sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka
mengetahui. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan
sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. Dan bagi tiap-tiap umat
ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu
berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan dari mana saja
kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram;
sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu.
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari
mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah
wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu,
kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu,
takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan
nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 145-150)
Para ulama salaf berkata: “Makna
ayat ini adalah agar tidak ada hujjah atas kalian tatkala menyerupai
kiblat mereka, di mana mereka mengatakan: “Mereka telah mencocoki kami
dalam hal kiblat, maka tidak lama lagi akan mencocoki kami dalam agama
kami.” Maka Allah mematahkan hujjah mereka dengan (perintah untuk)
menyelisihi kiblat mereka.
Allah Allah Subhaanahu wata’aala, menjelaskan
bahwa di antara hikmah dipindahkannya kiblat adalah menyelisihi kaum
kuffar dalam kiblat mereka agar yang demikian memutuskan keinginan
mereka yang batil.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/88)
2. Memelihara jenggot dan memangkas kumis
Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari hadits Abdullah bin ‘Umar radiallohu anhu bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
“Selisihilah kaum musyrikin, cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot kalian.”
Dalam riwayat Al-Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
“Pangkaslah kumis biarkanlah jenggot kalian, selisihilah kaum Majusi.”
3. Shalat dengan menggunakan sandal atau khuf (sepatu dan semisalnya)
Merupakan
salah satu petunjuk Rasulullah r dalam shalat adalah melaksanakan
shalat tanpa alas kaki dan terkadang dengan beralas kaki. Hal ini
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits ‘Amru bin
Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya (Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash), ia
berkata:
“Aku melihat Rasulullah r shalat dalam keadaan bertelanjang kaki dan dalam keadaan menggunakan sandal.” (HR.
Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, dll. Dihasankan oleh
Syaikhuna Muqbil bin Hadi t dalam kitab beliau Syar’iyyatush Shalati bin
Ni’al)
Namun
bukanlah petunjuk Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, apabila
seseorang tidak pernah melaksanakan shalat dengan memakai sandal dalam
keadaan memungkinkan bagi dia untuk menggunakannya. Hal ini sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim dari hadits Syaddad bin
Aus radiallohu anhu, bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
“Selisihilah kaum Yahudi karena mereka tidak shalat dengan sandal dan sepatu mereka.”
(HR. Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ no. 3210)
Syaikhuna
Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullohu berkata: “Di antara
kemudharatan yang paling besar tatkala meninggalkan shalat dengan
memakai sandal, bahwa mayoritas kaum muslimin menjadi jahil tentang
sunnah ini dan menganggap bahwa yang shalat dengan memakai dua sandalnya
telah melakukan dosa besar dan telah menganggap halal apa yang telah
dianggap halal oleh para pelaku dosa besar.” (lihat kitab
Syar’iyyatus Shalati Binni’al. Lihat perkataan beliau dalam kitab
tersebut, dalil-dalil serta atsar dari ulama salaf, serta kemudharatan
ditinggalkannya sunnah yang mulia ini)
Masih
banyak lagi contoh sikap Islam dalam menyelisihi ash-habul jahim.
Silahkan lihat kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim karangan Syaikhul
Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullohu.
Keterjerumusan Kaum Muslimin dalam Menyerupai Kaum Kuffar
Sudah
merupakan sunnatullah bahwa di antara umat ini akan ada yang terjerumus
ke dalam kesesatan, dengan cara mengikuti langkah-langkah orang-orang
sebelum mereka dari kalangan ahli kitab dan musyrikin. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam,:
“Kalian
pasti akan mengikuti langkah-langkah orang sebelum kalian sejengkal
demi sejengkal atau sehasta demi sehasta, sampai walaupun mereka masuk
ke dalam lubang dhabb, kalian pun memasukinya.” Para shahabat bertanya:
“Apakah yang dimaksud adalah Yahudi dan Nashara?” Beliau menjawab:
“Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radiallohu anhu).
Berikut ini adalah sebagian bentuk penyerupaan terhadap ahli kitab dan kuffar yang sebagian kaum muslimin terjatuh ke dalamnya.
1. Menjadikan kuburan orang-orang yang dianggap shalih sebagai masjid
Hal ini telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, dengan sabdanya:
“Semoga
Allah memerangi kaum Yahudi, mereka telah menjadikan kuburan nabi-nabi
mereka sebagai masjid.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Abu Hurairah
radiallohu anhu)
Lihat
pembahasan lebih rinci tentang hukum membangun masjid di atas kuburan
dalam kitab Tahdzir As-Sajid min Ittikhadzil Qubur Masajid karangan
Asy-Syaikh Al-Albani rahiamahullohu.
2. Tidak menerima kebenaran kecuali apa yang datang dari kelompoknya
Termasuk salah satu karakter kaum Yahudi adalah mereka telah mengetahui kebenaran sebelum nampak
orang yang mengucapkannya dan yang menyerunya. Namun tatkala datang
kepada mereka yang mengucapkan al-haq tersebut dan ternyata bukan dari
kelompok yang mereka kehendaki, maka mereka pun enggan untuk mengikuti
dan mereka tidak menerima kebenaran kecuali yang datang dari kelompok
yang mereka menisbahkan diri kepadanya. Padahal mereka tidaklah
mengikuti apa yang wajib dalam keyakinan mereka. Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman:
Dan
apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al Qur’an yang
diturunkan Allah”, mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang
diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada Al Qur’an yang
diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur’an itu adalah (Kitab) yang hak;
yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: “Mengapa kamu
dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang
beriman?” (Al-Baqarah: 91)
Dan
hal ini banyak menimpa orang-orang yang menisbahkan diri kepada
kelompok tertentu dalam berilmu atau beragama dari kalangan ahli
tasawwuf, atau kepada selain mereka, atau kepada seorang pemimpin yang
diagungkan oleh mereka dalam agama -kecuali Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam. Mereka tidak mau menerima ajaran agama ini baik
pendapat maupun riwayat kecuali yang dibawa oleh pemimpin mereka.
Padahal Islam mengharuskan mengikuti kebenaran tersebut secara mutlak,
baik pendapat maupun riwayat, tanpa mengkhususkan seseorang atau
kelompok kecuali Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. (lihat kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/ 74-75)
Wallahul hadi ilaa sabiilir rasyaad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar